MAKALAH TASAWUF IRFANI
TASAWUF IRFANI
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhlak Tasawwuf
Dosen Pengampu:
Moch. Cholid wardi, M. H. I
Disusun Oleh : Kelompok 6
MOH. ISBAD ADDAINURI (20170703031135)
FARIED (20170703031066)
MAULANA ABDILLAH (20170703031116)
IMAM HIDAYATULLAH (20170703031089)
ABDUL WADUD ZAINURI (20170703031006)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya lah saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akademik akhlak tasawwuf tahun
ajaran 2017/2018. Adapun topik yang dibahas dalam makalah ini mengenai
konsep pembelajaran tasawuf irfani dan tokoh-tokohnya.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Moch. Cholid wardi, M.
H. I Sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing tulisan saya dalam
menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, hal itu dikarenakan keterbatasan yang ada. Sehingga kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca.
Kiranya makalah ini banyak memberikan manfaat bagi kehidupan kita semua.
Sehingga permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat terselesaikan.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Irfani................................................................................. 2
B. Konsep Pembelajaran Tasawuf Irfani............................................................... 3
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani……………………........................................... 3
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN................................................................................................ 5
B. SARAN ............................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf bukan ilmu bukan ilmu yang stagnan ditempat. Walaupun nama
tasawuf baru terdengar mulai awal-awal abad ke II hijriyah, tetapi dalam
perjalanannyamengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hadinya
berbagai tokoh tasawuf memperkaya cara pandang ilmu tasawuf.
Salah satu aliran pemikiran tasawuf adalah tasawuf irfani. Aliran ini
terkenal dengan cara pandang tokohnya yang susah untuk dipahami oleh
orang yang awam. Bahkan terdapat tokohnya yang sangat kontroversial yang
mengundang perdebata dikalangan ahli syariat dan ahli tasawuf. Oleh
karena itu, menjadi keinginan kelompok kami untuk menghimpun informasi
menenai tasawuf irfani, sehingga dapat memberikan pemahamanpada kami
mengenai tasawuf irfani, serta para pembaca sekalian.
Dalam makalah ini akan dijelaskan apa yang dimaksud tasawuf irfanidan bagaimana corak pemikiran dari tokoh-tokohnya.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa sajakah tokoh-tokoh irfani dan bagaimana pemikirannya?
C. Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, bertujuan agar dapat membeikan penjelasan
mengenai tasawuf irfani dan tokoh-tokohnya, bagaimana kehidupan mereka,
dan cara pandang mereka untuk menggapai sang pencipta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Irfani
Tasawwuf irfani adalah tasawwuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran
atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau
pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui pemberian tuhan (Mauhibah).
Ilmu yang diperoleh karena manusia melakukan tasawwuf berupa melakukan
tasfiyat al-qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara
batini dengan tuhan sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah
ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).
Ajaran irfan sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak
menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini
sebagai materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa
dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama, dia juga
tidak menafikkan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola
pemikiran irfani. Tidak seluruh irfani memiliki substansi ajaran agama,
baik dahulu maupun sekarang.
B. Konsep Pembelajaran Tasawuf Irfani
Untuk memperoleh ma’rifat – dalam istilah disebut dengan gnostik
–manusia telah memiliki potensi masing-masing. Syaratnya antara lain
adalah kesucian jiwa dan kesucian hati. totalitas jiwanya telah suci dan
hatinya telah dipenuhi dengan dzikir kepada tuhan, hidupnya akan
dipenuhi oleh kearifan dan bimbingan-Nya.
Untuk
memperoleh kearifan atau ma’rifat, hati mempunyai fungsi esensial,
sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi dalam fushush Al-Hikam –nya:
“Kalbu dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyaf dan
ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk ma’rifat dan menjadi cermin
yang memantulkan (tajalli) makna-makna keghaiban.
Kalbu merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya
adalah hakikat ma’rifat, kalbu yang dapat memperoleh ma’rifat adalah
kalbu yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering
di lakukan manusia.Al-Ghazali menyebut penyucian kalbu dengan tathhir
al-qalb,yaitu menyucikan kalbu dari akhlak buruk dan sifat-sifat
bahimiyyah (hewan berkaki empat), sehingga yang menjadi pakaian kalbu
adalah sifat-sifat malaikat.
Karena kalbu merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi
kecemerlangan kalbu dalam menerima ilmu. Kalbu ytang telah suci akan
mampu menembus alam malakut (misalnya, alam malaikat). Menurut
Al-Ghazali, kalbu merupakan sesuatu yang sejenis dengan malaikat. Ketika
berada di alam malaikat inilah, kalbu mampu memperolah ilmu pengetahuan
dari tuhan. Tampaknya kaum sufi memandang kesucian kalbu sebagai
prasyarat untuk berdialog secara batiniah dengan tuhan. Mereka
mengemukakan alasan bahwa tuhan hanya dapat didekati oleh jiwa yang
suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis batiniah
dengan perangkat kalbu yang suci inilah yang mereka sebut dengan ilmu
ma’rifat dan secara spesifik dapat memperoleh ilmu laduni, yaitu ilmu
yang datang melalui ilham yang dibisikan melalui hati manusia.
Dengan demikian, kalbu berpotensi untuk berdialog dengan tuhan.inilah
yang dimaksud Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa,
terdapat alat yang dapat menyingkap pengetahuan ghaib dan hal-hal yang
akan terjadi di masa mendatang. Penyingkapan pengetahuan seperti ini
merupakan wacana irfaniyyah. dengan sarana kalbu itulah, ilmu ma’rifat
dapat di peroleh manusia.
Dari pembahasan dan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (kalbu)
menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat. Kalbu yang mampu memperoleh
ma’rifat. kalbulah yang mampu mengetahui ma’rifat pengetahuan, karena
kalbu telah di bekali potensi untuk berdialog dengan tuhan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa ma’rifat tidak spontanitas dimiliki sembarang
orang, tetapi hanya dimilki oleh orang-orang yang telah berupaya untuk
memperolahnya.
Di samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh
ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, seperti sebagai
berikut ini.
1. Riyadhah
Riyadhah adalah ltihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar
pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga
seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh
dariperbuatan maksiyat dan dosa.
Riyadhah
bukan perkara yang mudah, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan
mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat
buruk (Anwar dan Solihin, 2000: 79). Dengan kata lain, riyadlah dapat
diartikan sebagai salahsatu metode sufistik dengan latihan amal-amal
positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh
negatif (maksiat) dan jiwa yang terkontiminasi dosa. Menurut Anwar dan
Solihin, setelah riyadhoh berhasil dilakukan, maka salik akan memperoleh
ilmu makrifat.
2. Tafakur (Refleksi)
Secara harfiyah tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam,
sistematis, dan terperinci (Gulen, 2001:34). Menurut imam Al-Gazali
(dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan
berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan
berubah.
3. Tazkiyat An-Nafs
“Dan jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya”
(QS Asy-Syam [91]:7-10). Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs
terdiri dari dua kata, yaitu “Tazkiyat” dan “An-Nafs”. Kata ‘tazkiyat’
dari bahasa arab, yakni isim mashdar dari kata ‘zakka’ yang berarti
penyucian (Ma’aluf dalam Solihin, 2003: 130). Kata ‘An-Nafs’ berarti
jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafsi
bermakna penyucian jiwa. Tazkiyat An-Nafs merupakan salah satu tuagas
yang diemban Rasulullah SAW. Perihal tersebut dapat dilihat dalam (QS
Al-Jumu’ah [62]:2). Muhammad Ath Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs
adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riyak, dan
nifak, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju
keridhaan Allah.
4. Dzikrullah
Istilah
‘zikr’ berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan,
mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat (Munawir dalam Solihin,
2004: 85). Berzikir kepada Allah berarti zikrullah, atau mengingatkan
diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya,
Tuhan Maha Agung dan Maha Suci (Al-Jilani,2003: 97). Dzikrullah adalah
tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah
pengalaman ruhiyah (batin). Al-qur’an mengisyaratkan tentang dzikrullah,
karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku
(QS Al-Baqarah [2]: 152).
Secara etimogis, kata irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata
arafa (mengenal/pengenalan). Adapun secara etimologis, irfan
diidentikkan dengan makrifat sufistik. Ahli irfan adalah yang
bermakrifat kepada Allah. Terkadang, kata itu diidentikkan dengan
sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seseorang ‘arif (yang
bermakrifat kepada Allah), dan menjadi hal baginya.
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
Di
antaranya para tokoh tasawuf Irfani adalah Rabi’ah Al-Adawiyyah, Dzul
An-Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Busthami, dan Abu Mansur Al-Hallaj.
1. Robi’ah Al-Adawiyah
a. Biografi singkat Robi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah binti ismail Al-Adawiyah
Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M
atau 99/717 M di suatu perkampungan dekat kota bashrah [Irak] dan wafat
di kota itu pada tahun 185 H/ 801 M. Ia dilahirkan sebagai purti keempat
dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tuanya
menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih
kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang bashrah, ia dilahirkan
penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu adwah.
Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga
ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya di bebaskan lantaran
tuanya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi
seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
b. Ajaran Tasawuf Robi’ah Al-Adawiyah
Dalam perkembangan mistisme dalam islam, Robi’ah Al-Adawiyah tercatat
sebagai peletak dasar tasawwuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara
generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan
rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama
mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan
permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-‘Adawiyah tentang cinta dipahami dari
kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya.
Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah berdoa, “
Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencinta-Mu oleh api neraka ?”
Tiba-tiba, terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah
engkau berburuk sangka kepada Kami”.
2. Dzu An-Nur Al-Mishri
a. Biografi singkat Dzu An-Nur Al-Mishri
Dzu An-Nur Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang hidup di
sekitar pertengahan abad III Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh
Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada
tahun 180 Hijriyah (796 M) dan wafad pada tahun 246 Hijriyah (856 M).
Julukan “Dzu An-Nur” diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai
kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah
mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan
selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Dzu An-Nur Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya
sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalanan hidupnya, Dzu
An-Nur Al-Mishri selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia
pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Baitul Maqdis,
Baghdad, Mekah, Hijaz, Syiria, Pegunungan Lebanun, Anthokiah, dan Lembah
Kan’an. Hal ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak
dan mendalam. Ia hidup pada munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam
bidang ilmu hadist, fiqh, dan tasawuf sehingga ia dapat mengambil
pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal.
Ia mengambil riwayat hadist di antaranya dari Malik dan Al-Laits. Adapun
yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasim bin Mush’ib
An-Nakha’i. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Saqran Al-Abd atau
Israfil Al-Maghribi. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang
yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebagai seorang sufi kenamaan, Dzu An-Nur Al-Mishri memiliki beberapa
ajaran. Ajaran tersebut mempunyai pengaruh yang cukup kuat di kalangan
masyarakat muslim, khususnya bagi pengamal sufistik. Di antara
ajaran-ajaran tasawuf Dzu An-Nur Al-Mishri adalah sebagai berikut.
a. Pandangan Dzu An-Nur Al-Mishri Tentang Ma’rifat
Dzu An-Nur Al-Mishri adalah pelopor paham ma’rifat. Walaupun istilah
ma’rifat sebelumnya sudah dikenal, namun pengertian mak’rifat versi
tasawuf barulah dikenal dengan kemunculannya. Disamping itu, jasa yang
paling besar adalah ajarannya yang menetapkan keharusan melewatimaqamat
dan ahwal dalam perjalanan menuju ma’rifat.dengan kata lain, sejak
kemunculannya Dzu An-Nur Al-Mishri berkembanglah pengertian ma’rifat
yang khas didunia sufi. Setelahitu mulailah tersusun amalan-amalan
tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, yang dikenal dengan
maqamat dan ahwal.
Pertama, ia membedakan antara ma’rifat sufiyyah dengan ma’rifat
aqliyyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan kalbu yang bisa
di gunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan
pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
Kedua, menurut Dzu An-Nur Al-Mishri, ma’rifat sebenarnya adalah
musyahadah qalbiyyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah
dalam hati manusia sejak azali.
Ketiga, teori-teori ma’rifat Dzu An-Nur Al-Mishri mempunyai gnosisme ala
Neo-Platonik. Teori-teorinya ini kemudian di anggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdah asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang
sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur filsafat ke dalam
tasawuf
b. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal
Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada
beberapa hal saja, yaitu taubat, sabar, tawakal, dan ridho. Menurutnya
bahwa simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita, mencapai ke fakiran,
dan memiliki rasa cukup yang disertai kesabaran. Kendatipun demikian,
dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Mishri lebih sedikit
dibandingkan dengan para sufi sesudahnya.
Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam
dan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari meningat
Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap
sebagai kebaikan oleh abrar justru di anggang sebagai dosa oleh
muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pertanyaan Al-Junaidi yang
mengatakan bahwa taubat adalah melupakan dosa. Pada tahap ini
orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka
karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan
dzikir yang berkesinambungan.
Lebih lanjut, Dzu An-Nun Al-Mishri membagi taubat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya
2. Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealpaan mengingat Tuhan
3. Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
3. Abu Yazid Al-Busthami
a. Biografi singkat Abu Yazid Al-Busthami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taufur bin Isa bin Surusyan
Al-Busthami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun
947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang
penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk islam di
Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih
memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid
mempunyai kelainan. Menurut ibunya, bayi yang ada didalam kandungannya
akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang
diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid
yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti printah agama dan
berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat
dari surat Luqman, “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang
tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian
berhenti belajar dan menuju rumah ntuk menemui ibunya. Ini suatu
gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah. Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan tahun.
Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu
menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya
yangterkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid
tentang ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya saja ajaran
sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di Syam, dengan tidur, makan, dan minum sedikit
sekali.
b. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Busthami
1) Fana’ dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi
bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam istilah tasawuf fana’ berarti hilangnya semua keinginan hawa nafsu
seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia
kehilangan segala perasaannya sehingga dapat membedaan sesuatu secara
sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat
sesuatu.
Adapun
baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’.
Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi mengalami
fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
2) Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik,
pembahasan tentang ittihad ini tidak dikemukakan.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi
satu.sufi yang bersangkutan dengan fana’nya, tak mempunyai kesadaran
lagi dan berbicara dengan nama tuhan.
4. Abu Manshur Al-Hallaj
a. Biografi singkat Abu Manshur Al-Hallaj
Nama
lengkap Abu Manshur Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin
Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil
di wilayah persia, pada tahun 244 H (855 M). Ia tumbuh dewasa di kota
Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar kepada seorang
sufi terkenal saat ini, yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. Dua
tahun kemudian ia pergi ke bashrah dan berguru kepada Amr bin Utsman
Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 Masehi, ia memasuki
kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaidi Al-Baghdadi. Setelah itu, ia
pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan
dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena
penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.
Dalam
sebuah perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam seperti
Khurasan, Ahwas, India, Turkistan, dan Mekah, Al-Hallaj telah banyak
memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H
(909 M). Di Baghdad, pengikuitnya semakin bertambah banyak karena
kecaman-kecamannya tarhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada
waktu itu. Secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga
istana, Nashr Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik
dan pemerintahan yang bersih.
b. Ajaran Tasawuf: Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘arabi. Al-Hallaj memang pernah
mengaku bersatu dengan tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan
pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut
istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran
atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran
atau pemikiran, tetapi melalui pemberian tuhan secara langsung. Adapun
tokoh-tokoh dari asawufirfani antara lain : Robi’ah Al-Adawiyah, Dzu
An-Nur Al-Mishri, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Manshur Al-Hallaj.
Pemikiran dari masing-masing tokoh taswuf irfani berbeda-beda dilihat
dari cara pandang, latar belakang tokoh dan corak pemikirannya. Dari
situlah kita dapat mengkajinya untuk menambah ilmu pengetahuan.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, kritik dan saan yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Ilmu Tasawuf (Jakarta:Amhas, 2015).
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.H., Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H,
pengenalan, pemahaman, dan pengaplikasiannya disertai biografi dan
tokoh-tokoh sufi (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2015
Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag, Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, ilmu tasawuf (Bandung:CV Pustaka Setia, 2008),
Komentar
Posting Komentar