MAKALAH SEJARAH MULANNYA DAN PERKEMBANGAN TASAWUF

SEJARAH MULANYA DAN PERKEMBANGAN TASAWUF
                           MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.

Oleh:
Kelompok 3
1. Hurroti 20170703032083
2. Suci Nor Naila 20170703032174
3. Sufiatun 20170703032175
4. Taufiqah Halilatur Rahmah 20170703032181
5. Yulita Dwi Maulidayanti 20170703032193





PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tasawuf”.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas Akhlak Tasawuf. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Cholid Wardi selaku dosen penganjar mata kuliah Akhlak Tasawuf yang membimbing dalam mengerjakan makalah ini.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, sehingga dalam penulisan makalah selanjutnya dapat tersusun dengan baik. Penulis juga berharap penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan mahasiswa Stain Pamekasan. Amin-amin ya rabbal alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Pamekasan, 19 Oktober  2017


Penulis



                         DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang1
B. Rumusan Masalah2
C. Tujuan Evaluasi2
BAB II PEMBAHASAN3
A. Sejarah Munculnya Tasawuf3
B. Perkembangan Tasawuf11
BAB III PENUTUP16
A. Simpulan16
B. Saran16
DAFTAR PUSTAKA17




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap agama memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. Kenyataan itu setidaknya dapat ditelusuri pada agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Keagamaan yang bersifat mistik dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis disebut sufisme. Jadi, istilah sufisme khusus dipakai untuk mistisisme dalam Islam.
Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafa Rasyidin, istilah tasawuf tidak pernah dikenal. Para pengikut beliau diberi panggilan sahabat. Sementara itu,  orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in dan seterusnya disebut tabi’ tabi’in. Istilah tasawuf baru dipakai pertengahan abad II Hijriyah oleh Abu Hasyim Al-Kufi (w. 250 H), dengan meletakkan Ash-Shufi di belakang namanya, menskipun sebelum itu telah ada ahli yang mendahuluinya dalam hal zuhud, wara’, tawakkal, dan mahabbah.
Sebagai sistem keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan eksoteris (lahiriyah) dan esoteris (batiniah). Akan tetapi, tekanan yang berlebihan kepada salah satu penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip tawazun, karena kenyataanya banyak diantara kaum muslim yang penghayatan keislamannya lebih mengarah kepada lahir (ahl az-zawahir) dan banyak pula yang mengarah kepada batin (ahl al-bawatin).
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam sekaligus perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi antara hamba dan tuhannya. Tasawuf merupakan jantung bagi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan kunci kesempurnaan amaliyah, di samping hal lain yang juga sam pentingnya, yaitu akidah dan syariat.
Pertumbuhan dan perkembangan dunia tasawuf pada masa sekarang kurang di perhatikan masyarakat tentang bagaimana menjalankannya maupun menjaga dengan baik. Banyak yang mempelajari ilmu tasawuf tanpa tahu sejarah tentang ilmu tasawuf tersebut, maka dari itu perlunya mempelajari sejarah ilmu tasawuf dalam islam menjadi sangat penting agar ketika orang-orang belajar tasawuf tidak semerta-merta dapat menyelewengkan ajaran-ajaran yang sudah di ajarkan pada zaman Nabi sampai sekarang.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf dalam Islam, menurut para peneliti, sesungguhnya sama dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam sebagai agama. Hal ini mengingat keberadaan tasawuf  sama dengan keberadaan agama Islam itu sendiri. Karena, pada hakikatnya agama Islam itu ajarannya hampir dapat dikatakan bercorak tasawuf.
Tidak mengherankan jika kehidupan tasawuf tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sejak zaman Rasulullah SAW bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Kehidupan beliau sudah mencerminkan ciri dan perilaku kehidupan Sufi. Hal itu dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya yang sangat sederhana, di samping menghabiskan waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.  
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah munculnya tasawuf?
2. Bagaimanakah perkembangan tasawuf?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya tasawuf
2. Untuk mengetahui perkembangan tasawuf









                               BAB II
                        PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Tasawuf
Sebagai sebuah ajaran, tasawuf muncul pada zaman Rasulullah SAW, sebab misi kerasulannya meliputi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keyakinan/ keimanan (aqidah), ibadah dan akhlak.
Sebagai sebuah gerakan, tasawuf dimulai pada masa tabi’in, yaitu ketika umat Islam berada dalam kekhalifahan Bani Umayyah. Istilah tasawuf pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Abu Hisyam, seorang zahid dari Syiria (wafat pada tahun 780). Ia mendirikan lembaga kaum Sufi yang dinamakan taqiyah (sejenis pedepokan Sufi). Masa selanjutnya adalah abad pertengahan Islam, ketika tasawuf ditulis oleh para kaum Sufi. Mereka adalah al Ghazali, al Qusyairi, al Kalabadzi. Mereka adalah kaum Sufi yang banyak  menelorkan tulisan-tulisan yang sangat berharga dan memperkaya khazanah pemikiran ummat Islam. Al Ghazali, misalnya beliau adalah seorang Sufi yang menjalani berbagai konversi dalam hidupnya. Dimulai dari seorang ahli Kalam (mutakallim), dilanjutkan sebagai seorang ahli Fiqh (faqih), yang selanjutnya ia tertambat sebagai seorang Sufi. Sebagai seorang Sufi, ia sangat peroduktif yang mengarang berbagai kitab yang dijadikan rujukan oleh ummat Islam sepanjang zaman. Diantaranya kitab yang terkenal dan sangat monumental adalah al Ihya’ al Ulum al din.
Pada masa kemunduran Islam, tasawuf dituding oleh berbagai kalangan sebagai biang kerok kemunduran umat Islam, karena dengan ajaran-ajaran yang bersifat asketis dan melarang filsafat telah membuat Islam terbeleggu dalam kebekuan dalam berpikir yang mengakibatkan tidak berdayanya ummat Islam dan mengakibatkan kemunduran ummat Islam secara keseluruhan.
Dikalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (Agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Buddha, dan unsur Persia. Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Unsur Islam
Islam agama yang muncul di Arab sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh dari unsur Arab pra-Islam masuk dalam ajaran tasawuf Islam. Untuk melihat bagaimana tasawuf berasal dari dunia Islam, pelacakan terhadap sejarah munculnya tasawuf dapat dijadikan dasar argumentasi munculnya tasawuf di dunia Islam.
Pada masa sebelum datangnya Islam dan pada masa Rasulullah SAW., istilah tasawuf belum ada. Istilah tasawuf muncul pada masa setelah itu. Disebutkan bahwa perjalanan tasawuf diibaratkan sebagai prose produksi anggur murni berikut ini, “Disemaikan  di zaman Nabi Adam, dirawat dan dipelihara di zaman Nabi Nuh, mulai bersemi di zaman Nabi Ibrahim,  tumbuh dan berkembang pesat di zaman Nabi Musa, Mencapai  kematangan di zaman Nabi Isa, dan menghasilkan anggur murni di zaman Nabi Muhammad.”
Sejak masa Rasulullah SAW hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan janji setia dan praktik ibadah tasawuf. Pada tahun 657 M, Uways Al-Qarni (w. 657 M) mengadakan pertemuan besar pertama kaum Sufi. Untuk mengenang dan menghormati Rasulullah SAW yang kehilangan dua buah giginya di Perang Uhud, ia mencabut giginya sendiri dan mengajak segenap pengikutnya untuk melakukan jal serupa. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa hidup seperti yang digambarkan dalam kalangan ahli Sufi itu sudah  ditemukan, baik pada diri Rasulullah SAW sendiri maupun pada diri sahabat-sahabatnya. Sikap zuhud, misalnya, telah banyak ditanamkan oleh beliau dan para sahabatnya.
Oleh sebab itu, untuk melihat sejarah tasawuf perlu ditinjau perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Hal ini karena pada hakikatnya kehidupan rohani telah ada pada diri beliau sebagai panutan ummat. Kesederhanaan hidup dan upayanya untuk menghindari bentuk-bentuk kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang. Ini tergambar dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berada dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadis dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasulullah sebagai sumber utama bagi kehidupan rohani.
Pada abad pertama Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf, yang ada hanya benih-benihnya. Pada zaman ini, benih-benih tasawuf banyak ditemui pada perilaku atau sifat Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya. Di dalam kehidupan Rasulullah SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkan sebagi seorang Sufi. Rasulullah SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang dimana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdangangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.
Selama di Gua Hira yang beliau lakukan hanyalah tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak memakan-makanan atau menimun-minuman kecuali yang halal, setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT., sehingga Siti Aisyah, istri beliau  bertanya: “Mengapa Engkau berbuat begini ya Rasulullah, sedangkan Allah senantiasa mengampuni dosamu.” Nabi menjawab: “Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah SWT.”
Dikalangan para sahabat pun ada pula orang yang mengikuti praktek bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Rasulullah SAW. Abu Bakar Ash-Shidiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemulian dalam ketakwaan, kefanaan, dalam keagungan dan rendah hati.” Demikian pula khalifah Umar bin Khattab yang pernah berkhutbah di hadapan jamaah kaum muslim dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Selanjutnya khalifah Usman bin ‘Affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya seperti Abu Dzar al-Ghiffari, Tamin Darmy, dan Huzaifah al-Yamani.
Selain sumber-sumber tersebut di atas, situasi masyarakat pada masa itu pun ikut serta mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah Islam tersebut ke segala penjuru dan makim kokoh pemerintahan Islam serta semakin makmurnya masyarakat, maka mulai timbul pola hidup yang bermewah-meah dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian timbullah sekelompok masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup zuhud, seperti yang diperlihatkan oleh Hasan al-Basri. Tokoh ini dengan gigih dan gayanya yang retorik telah mampu mengembalikan kaum Muslimin kepada garis agama dan muncullah kehidupan sufistik. Sikap protes ini kemudian mendapat simpatik dari masyarakat dan timbullah pola hidup tasawuf.
Bersamaan dengan itu pada masa ini timbul pula alira-aliran keagamaan, seperti lahirnya Khawarij, Muktazilah dan lain-lain. Aliran keagamaan ini dikenal banyak mempergunakan rasio dalam mendukung ide-idenya.untuk membendung aliran ini, maka timbullah kelompok yang tidak mau terlibat dalam penggunaan akal untuk membahas soal-soal tasawuf. Kelompok yang terakhir ini berusaha mengasingkan diri dan memusatkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT.
Dari inormasi tersebut terlihat bahwa munculnya tasawuf di kalangan ummat Islam bersumber pada dorongan ajaran Islam dan faktor situasi sosial dan sejarah kehidupan masyarakat pada umumnya.
2. Unsur Masehi (Agama Nasrani)
Ada yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh unsur agama Nasrani. Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherangkan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adaah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap  fakir dalam Islam   adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidupa dalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf diduga mempengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.” “Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah pada sola penghidupan terlihat pada, peranan syaikh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan diri dari Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.”
3. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia dimana perkembangannya dimulai pada khir Dulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut memengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina terutama dalam urutan mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi, dan lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat aliran Neo Platonis menggambarkan bahwa hakikat yang tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada setiap hamba setelah seseorang tersebut membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis: “Kenallah dirimu dengan dirimu” diambil dari para Sufi dan diantara Sufi berkata: “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya.” Hal ini semua mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud, dan Wihdah al-Wujud. Tidak syah lagi bagi kelompok Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan filsofot) seperti Ibnu Arabi, Ibnu al-Farbi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata dalam cara berpikr mereka.
   Penelaahan filsafat Yunani oleh para Sufi yang juga filsuf seperti di atas mendorong mereka untuk menimba sebagian terminologi filsafat tersebut, seperti “intelek pertama”, “intelek universal”, dan sebab-akibat universal . walaupun demikian, tasawuf bukan berasal dari Yunani, sekalipun pengaruhnya ada dalam perkembangan tasawuf.
4. Unsur Hindu/Buddha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemungkinan pula paham reinkarnasi (perpindahan  roh  dari  satu badan ke  badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Buddha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah SWT.
Salah satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher  mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.
Max Horten dan Richard Hartmann tokoh orientalis lainnya, berpendapat bahwa tasawuf bersumber dari India. Mereka cenderung merujuk sebagian ajaran tasawuf dan bentuk-bentuk tertentu dari latihan-latihan rohaniah kepada praktik-praktik yang serupa dalam mistisisme orang-orang India. Horten yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari alam pikiran India telah melakukan peneitian yang lama sebelum mengemukakan pendapat ini. Hartmann menunjukkan bukti bahwa sumber tasawuf berasal dari India, yaitu sebagai berikut.
a. Kebanyakan generasi pertama Sufi bukan berasal dari Arab, seperti, Ibrahim bin Adam, Syaqiq Al-Balkhi, Abu Bakar Yazid Al-Busthami, dan Yahya bin Ma’az Ar-Razi.
b. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kali adalah dari Khurasan.
c. Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
d. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
e. Arketisme Islam yang pertama bercorak India, baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya.
Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolok pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal daei agama Hindu dan Buddha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrem. Kalau ajaran tasawuf berasal dari agama Hindu dan Budhha, berarti pada zama Rasulullah SAW., telah berkembang ajaran dua agama tersebut. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu. Pada akhirnya, Nicholson meragukan bahwa ajaran tasawuf berasal dari ajaran India dengan mengemukakan pendapatnya.
Sulit diterima bahwa ajaran tasawuf berasal dari pengaruh Hindu dan Buddha, karena sesungguhnya amalan tasawuf ada pada masa-masa awal kelahiran agama Islam. Adapun terdapat kesamaan ajaran yang kemungkinan sama di dalam ajaran agama Hindu dan Buddha dengan tasawuf memang bisa saja terjadi.
5. Unsur Persia
Diantara orientalis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari Persia. Thoulk, misalnya seorang orientalis abad XIX yang menganggap bahwa tasawuf diambil dari sumber Majusi. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran Utara –setelah penaklukan Islam– tetap memeluk agama mereka dan banyak tokoh Sufi yang bersala dari utara kawasan Khurasan. Di samping kenyataan bahwa sebagian pendiri aliran tasawuf angkatan pertama berasal dari kelompok orang-orang Majusi.
Menurut Dozy, penulis buku Essai sur I’histoire de I’Islamisme menyatakan, tasawuf dikenal oleh kaum muslim melalui orang-orang Persia, yang telah berkembang di sana karena diajarkan oleh orang-orang India sebelum datangnya Islam. Sejak masa purba, di Persia telah hidup suatu gagasan yang menganggap bahwa asal-usul segala sesuatu itu dari Tuhan, semesta ini tidak mempunyai wujud tersendiri dan wujud yang sebenarnya hanyalah Tuhan. Pendapat seperti ini juga terdapat dalam ajaran tawasuf yang beraliran Wujudiyyah. Annemarie Schimmel berpendapat bahwa tasawuf sering dianggap sebagai perkembangan khas Persia daatubuh Islam. Tidak perlu diragukan bahwa unsur-unsur penting tertentu dari Persia tetap bertahan selama berabad-abad dan menjiwainya, seperti yang dikemukakan oleh Henry Corbin dan Sayyed Hossein Nasr.
Diakui bahwa dalam paham tasawuf terdapat unsur-unsur yang sama seperti dalam ajaran agama-agama di Persia. Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan, dan sastra. Namun, ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan kerohaniann Persia teah masuk ke tanah Arab. Jelasnya kehidupan kerohaian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli tasawuf. Ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Mani dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan At-TaftazaniHoruz (Tuhan Kebaikan) daam agama Zoroaster.
Sejak zaman klasik hingga saat ini, Pesia terkenal sebagai wilayah yang melahirkan Sufi-sufi ternama. Dalam konsep kefanaandiri dalam universalitas salah seorang penganjurannya adaah seorang ahli mistik dari Persia, yaitu Bayazid dari Bistam, yang teah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).
B. Perkembangan Tasawuf
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan tasawuf di kalangan islam mengalami beberapa periode, yang secara rinci dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Periode Pembentukan
Pada abad I Hijriah bagian kedua, muncul Hasan Al-bashri (w. 110 H) dengan ajaran  kahuf untuk mempertebal takut kepada Tuhan. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis brsae mengenai thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun. Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju’); menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud); dan mencela dunia (dzamm ad-dunya), seperti harta, keluarga, dan kedudukan.
Selanjutnya oada abad II hijriah, tasawuf tidak hanya berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu sama dalam corak kezuhudan mekipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya kenyataan pendangkalan ajaran agama dalam melaksanakan syariat agama (lebih besikap fiqh). Hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu. Sebagian ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, serta berdiam diri seperti yang dianjurkan oleh Ali Syaqiq Al-Bakhi dan Ma’ruf Al-karkhi.
Abu Al-Wafa’ menyimpulkan, zuhud Islam pada abad I dan II Hijriah mempunyai karakter sebagai berikut.
a. Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatarbelakangi oleh sosial-politik, coraknya bersifat sederhana, praktis yang bertujuan meningkatkan moral.
b. Masih bersifat praktis, para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoretis atas kezuhudannya itu.
c. Ciri lain dari motif zuhudnya ialah rasa takut.
d. Menjelang akhir abad II Hijriah, sebagian zahid –khususnya di Khurasan dan Rabi’ah Al-Adawiyyah– menandai kedalaman analisis yang dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau cikal bakal para pendiri tasawuf Filsafi abad III dan IV Hijriah. Abu Al-Wafa’ lebih sependapat apabila mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan Sufi).
2. Periode Pengembangan
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ektase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, bersatu dengan kecintaan, kekal dengan Tuhan, menyaksikan Tuhan, bertemu dengan-Nya, dan menjadi satu dengan-Nya, seperti yang diungkapkan Abu Yazid Al-Busthami (216 H). Ia adalah orang petama yang menggunakan istilah fana (lebur atau hancurnya perasaan), sehingga ia dibilang sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
Pada akhir abad III, orang berlomba-lomba pula menyatakan dan mempertajam pemikirannya tentang kesatuan kesaksian, kesatuan kejadian, kesatuan agama-agama, berhubungan dengan Tuhan, keindahan dan kesempurnaan Tuhan, manusia sempurna, yang sempurna itu hanya dapat dicapai oleh para sufi dengan latihan yang teratur.
Kemudian datanglah Junaidi Al-Baghdah yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah (tarekat); mengajarkan ilmu tasawuf; memperkenalkan sistem syaikh, mursyid, murid, dan murad; sehingga ia dinamakan Syaikh Ath-Thai’fah (ketua rombongan suci).
Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV Hijriah sudah berkembang sehingga sudah mempunyai mashab, bahkan seolah-olah agama yang berdiri sendiri. Lebih jauh Abu Al-Wafa’menegaskan bahwa tasawuf pada abad III dan IV Hijriah, lebih mengarah pada ciri Psiko-mora dan perhatiannya diarahkan pada moral tingkah laku. Serta menurut Abu Al-Wafa’, tasawuf pada abad ini telah mencapai peringkat tertinggi sekaligus terjenih dan mereka menjadi panutan bagi Sufi-sufi sesudahnya. Pada abad III dan IV Hijriah, terdapat dua aliran, yaitu aliran tasawuf Sunni dan aliran tasawuf falsafi.
3. Periode Konsolidasi
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., tasawuf pada abad V Hijriah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf Semifalsafi dengan tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni memenangkan pertarungan sehingga berkembang sedemikian rupa. Sementara itu, tasawuf Semifalsafi tenggelam dan kembali muncul pada abad VI Hijriah dalam bentuk lain.
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh Sufi utama abad V Hijriah. Ia berusaha mengembalikan tasawuf pada landasannya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Tokoh Sufi lain yang gencar menyerang “penyelewengan” dalam tasawuf ialah Al-Harawi. Ia dikenal menyusun teori fana dalam kesatuan, baginya fana  bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain, ketidaksadaran terhadap penyaksian serta dirinya sendiri.
Al-Ghazali, pembela tasawuf Sunni menduduki peringkat setingkat lebih tinggi daripada kedua Sufi yang telah disebutkan diawal. Dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral, yang mengutamakan pendidikan moral.  Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-Din dan Bidayah Al-Hidayah. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syatahat karna dianggap mempunyai dua kelemahan. Petama, kurang memperhatikan amal lahiriah. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya, diucapkan dari hasil pikiran yang kacau, dan hasil imajinasi sendiri.  Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah SWT. sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa lalu menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal) menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai pada fana, tauhid, ma’rifat, dan kebahagiaan. Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam yang memadukan tiga kubu, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya terjadi ketegangan.            
4. Periode Falsafi
Pada abad VI Hijriah tampilah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, berkompromi dalam pemakain term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang dikatakan sebagai filsafat, sebut saja tasawuf Falsafi karena di satu pihak maemakai term-term filsafat, namun di lain pihak pendekatan terhadap Tuhan memakai metode dzuq, intuisi, dan wajd.
Ibnu Khaldun dalam bukunya, Muqadimmah, menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi mempunyai empat objek utama yang menurut Abu Al-Wafa’ dapat dijadikan karakter sufi Falsafi, yaitu sebagai berikut.
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi yang timbul darinya.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan.
d. Pemakaian ungkapan-unkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyat).
Tokoh-tokohnya ialah Suhrawardi Al-Maqtul, Ibnu Arabi, Ibnu Sabi’in, dan Ibnu Faridl. Pada abad VI dan dilanjutkan abad VII Hijriah, muncul cikal-bakal tarekat Sufi kenamaan. Tarekat terkenal yang lahir dan berkembang sampai sekarang antara lain, tarekat Qadariyah yang dikaitkan kepada Abdul Qadir Al-Jailani (471-562 H), tarekat Suhrawardiyyah yang dicetuskan Syuhabuddin Umar bin Abdillah Al-Suhrawardi (539-631 H), tarekat Rifa’iyyah yang dikaitkan kepada Ahmad Rifa’i (512 H), tarekat Syadziliyyah yang dikaitkan pada Abu Al-Hasan Al-Syadzili (592-656 H), tarekat Badawiyyah yang dikaitkan pada Ahmad Al-Badawi (596-675 H), tarekat Naqsyabandiyyah yang dikaitkan kepada Muhammad bin Bahauddin Al-uwaisy Al-Bukhari (717-791 H).
5. Periode Pemurnian
A.J. Arberry menyatakan, masa Ibnu arabi, Ibnu Faridh, dan Ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf, baik secara teoretis maupun praktis. Pengaruh  dan praktik-praktik tasawuf kiantersebut luas melalui tarekat-tarekat  dan para sultan dan pangeran yang tidak segan mengeluarkan perindungan dan kesetiaan pribadi mereka
Ibnu Taimiyah yang dengan lantang meyerang penyelewengan-penyelewengan para Sufi. Ia terkenal kritis,  peka terhadap lingkungan sosial, tegas berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para Sufi, untuk kembali kepada ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah. Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran ittihad, hulul, dan wahdah al-wujud sebagai ajaran  yang menuju pada kekafiran (atheisme).
Ibnu Taimiyah masih menoleransi ajaran fana. Ibnu Taimiyah membagi  fana menjadi tiga unsur bagian: fana ibadah, fana pandangan hati, dan fana wujud selain Allah SWT. Fana pertama dan kedua masih batas kewajaran, sementara fana ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam, dianggap kufur karena ajaran tersebut  beranggapan bahwa wujud Khalik  adalah wujud makhluk, yang berarti tidak mengakui wujud selain Allah SWT.
Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW., yaitu menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model iniyangcocok untuk dikebangkan di masa modern seperti sekarang.




                               BAB III
                             PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf muncul pada zaman Rasulullah SAW. Sebagai sebuah gerakan, tasawuf dimulai pada masa tabi’in, yaitu ketika umat Islam berada dalam kekhalifahan Bani Umayyah. Istilah tasawuf pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Abu Hisyam, seorang zahid dari Syiria (wafat pada tahun 780). Rasulullah SAW telah memberikan landasan berdasarkan wahyu ilahi dalam kehidupan tasawuf. Kehidupan beliau yang sangat sederhana dan meninggalkan kehidupan mewah bertujuan memberi contoh bagi para sahabatnya. Kehidupan beliau tidak mementingkan kemewahan materi, tetapi lebih mementingkan kekayaan mental spritual. Akibatnya, hubungan transendental dengan tuhan memiliki makna yang hakiki dan jiwa memiliki daya perekat dan kedekatan dengannya. Dikalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (Agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Buddha, dan unsur Persia.
Hidup kerohanian tasawuf belum  terpisah dari kehidupan sehari-hari umat Islam seketika permulaan berkembangnya agama Islam itu.           Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan tasawuf di kalangan islam mengalami beberapa periode, yaitu periode pembentukan, periode pengembangan, periode konsolidasi, periode falsafi, dan eriode pemurnian.

B. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentu pasti tidak dapat terlepas dari kesalahan penulis dalam penyusunan makalah. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh pembaca, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun.





                       DAFTAR PUSTAKA

Amin, Munir, Samsul. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah Mohammad
Muchlis Solichin, Muchlis. 2014.  Akhlak & Tasawwuf. Surabaya: Pena Salsabila
Nata,  Abuddin. 2006.  Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF

MAKALAH TASAWUF AKHLAKI

MAKALAH TASAWUF FALSAFI